Senin, 24 Oktober 2011

Pondok Wonolelo

Pondok Wonolelo adalah sebuah pedukuhan yang terletak di wilayah Desa Widadamartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman. Desa Widadamartani terletak sekitar 19 km arah timur laut dari Kota   Jogja dan berada di punggung utara Gunung Merapi. Daerah ini sudah terdapat jalur jalan aspal dari Ngemplak menuju jalan dari Kalasan ke Cangkringan.

Di wilayah ini, dikenal sebuah upacara adat yang dikenal sebagai upacara Saparan Wonolelo, yang berupa pengarakan pusaka Ki Ageng Wonolelo, leluhur yang dianggap sebagai cikal-bakal pembuka Pondok Wonolelo dan yang menurunkan penduduk asli Pondok Wonolelo. Upacara Saparan Wonolelo dilaksanakan satu kali dalam setiap tahun, yaitu jatuh pada bulan Sapar, pada hari Kamis Pahing malam Jumat Pon, sebelum bulan Purnama. Dasar yang digunakan untuk penentuan waktu upacara adalah ilham yang diterima oleh Lurah Purwowidodo ketika sedang bersemedi.

Dengan upacara Saparan Wonolelo ini, masyarakat pedukuhan Pondok Wonolelo bermaksud mengenang kembali leluhur mereka, terutama keturunan Ki Ageng Wonolelo. Disamping itu, mereka juga mengenang jasa Ki Ageng Wonolelo sebagai penyebar agama Islam, khususnya di Pondok Wonolelo. Upacara ini berfungsi juga sebagai momentum berkumpulnya keturunan Ki Ageng Wonolelo dalam trah Ki Ageng Wonolelo. Masyarakat juga memohon berkat dari Yang Maha Agung agar masyarakat Pondok Wonolelo dan keturunan Ki Ageng Wonolelo dijauhkan dari segala macam gangguan gaib yang sekiranya mendatangkan petaka bagi masyarakat.

Ki Ageng Wonolelo dituturkan sebagai keturunan langsung dari Prabu Brawijaya V, raja Majapahit yang terakhir. Prabu Brawijaya V berputra 111 orang, yaitu 60 orang laki-laki dan 51 orang perempuan. Salah satunya adalah Pangeran Bracakngilo. Pada waktu kerajaan Majahapit mulai terdesak oleh kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah), Prabu Brawijaya V memerintahkan putra-putrinya agar pergi meninggalkan kerajaan untuk bertapa. Titah raja ini dilaksanakan para putra dan putri. Pangeran Bracakngilo berkelana disertai oleh Syeh Maulana Maghribi menuju ke arah Barat.

Dalam perjalanan, mereka tiba di pedukuhan Karanglo dan tinggal cukup lama, bahkan Pangeran Brancakngilo mengganti namanya menjadi Ki Ageng Karanglo. Pedukuhan yang terletak di lereng Gunung Merapi tersebut terancam akan lahar yang selalu keluar dari mulut kawah Merapi. Ki Ageng Karanglo berusaha mencegah agar lahar tidak mengalir ke arah Selatan agar para penduduk terhindar dari bencana. Usaha tersebut berhasil dan Ki Ageng Karanglo kemudian disebut dengan nama Ki Ageng Turgo atau Syeh Jumadilkubro. Syeh Jumadilkubro berputra 4 orang (2 putra, 2 putri), dan dua orang putra yang dikenal adalah Syeh Kaki dan Syeh Jimat. Syeh Kaki kemudian berputra Ki Jumadigeno, sedang Syeh Jimat berputra Ki Berbak dan Ki Gunturgeni.

Ki Jumadigeno (Ki Ageng Wonolelo) kemudian tinggal dan menetap di pedukuhan Pondok Wonolelo. Disebut sebagai Pondok Wonolelo karena pada waktu Ki Jumadigeno masih tinggal di Turgo, apabila melihat ke arah Tenggara tampak adanya "wono" (hutan) yang "malelo" (jelas). Ki Jumadigeno ke hutan itu untuk babad alas dan dijadikan tempat tinggalnya dan diberi nama "Wonolelo". Namanya pun diganti menjadi Ki Ageng Wonolelo. Di tempat yang baru ini, Ki Ageng Wonolelo menyebarkan ajaran Islam, dan muridnya makin lama makin banyak. Untuk itu, didirikanlah pondok sehingga sampai sekarang tempat ini dikenal sebagai Pondok Wonolelo.

Berbagai macam persiapan dilaksanakan untuk kelancaran upacara Saparan ini. Adapun perlengkapan yang perlu dipersiapkan adalah pengumpulan pusaka-pusaka peninggalan Ki Ageng Wonolelo. Pusaka-pusaka itu tidak tersimpan menjadi satu, tetapi disimpan terpencar oleh keturunan Ki Ageng Wonolelo, yang dianggap mampu dan kuat menyimpan pusaka tersebut, seperti kopyah disimpan keturunan yang tinggal di Umbulmartani, Al-Quran di Sambirejo-Kalasan, Cupu di Cangkringan, dan Kyai Gondhil di Pondok Wonolelo. Di antara pusaka-pusaka peninggalan Ki Ageng Wonolelo tersebut, dalam upacara Saparan Wonolelo yang diselenggarakan hanya dapat ditampilkan empat pusaka, yaitu Kyai Gondhil, Kitab Suci Al-Quran, Kopyah, dan Cupu (potongan mustaka masjid). Sementara itu, pusaka Kyai Bandhil dan teken (tongkat) telah musnah.

Ki Ageng Wonolelo mempunyai pusaka-pusaka yang ditinggal kepada keturunannya, yaitu:
1. Baju atau Kutang Ontrokusurno yang disebut Gondhil,
2. Bandhil, berupa tali yang digunakan pada waktu babad alas,
3. Kitab Suci Al-Quran, yang ditulis tangan oleh Ki Ageng Wonolelo,
4. Cupu, berupa sempalan mustaka masjid yang dulu didirikan Ki Ageng Wonolelo,
5. Kopyah, yang digunakan Ki Ageng Wonolelo pada waktu mendapat tugas dari Sultan Agung di Mataram untuk menaklukkan kerajaan Palembang. Konon, prajurit kerajaan Palembang lari pontang-panting pada waktu Ki Ageng Wonolelo memiringkan kopyah di kepalanya,
6. Teken (tongkat), yang sudah tidak diketahui di mana rimbanya.

Perlengkapan lain adalah joli, sebanyak jumlah pusaka yang diarak. Joli ini adalah bangunan mirip rumah joglo dalam ukuran kecil untuk tempat pusaka. Joli ini baru digunakan dalam upacara Saparan tahun 1985. Perlengkapan lainnya lagi adalah saji-sajian yang disertakan dalam tahlilan, antara lain nasi tumpeng, ketan-kolak, apem, ingkung ayam, dan gelas minuman teh, dan lain-lain yang semuanya diletakkan di atas meja. Sajian lainnya yang disertakan adalah pisang raja dan bunga-bungaan serta kemenyan.

Di antara kelengkapan sajian yang harus ada, apem merupakan sajian pokok yang tidak boleh ditinggalkan. Apem ini dibuat dari tepung beras yang cara memasaknya dengan digoreng. Untuk menimbulkan rasa manis tepung beras yang sudah dicampur air secukupnya, dicampur dengan gula Jawa (gula kelapa). Apem ini tidak saja panitia yang membuat, tetapi seluruh penduduk Pedukuhan Pondok Wonolelo juga membuat, yaitu dengan cara gotong-royong melalui kelompok masing-masing. Setelah apem jadi, diserahkan kepada panitia yang bertugas untuk menerima apem. Apem inilah yang memberikan ciri khas Upacara Saparan Wonolelo.

Konon, apem ini dibawa oleh Juru Kunci makam Ki Ageng Gribig dari Jatinom, kepada mertua Kepala Desa Widadamartani, untuk membasmi hama tikus yang menyerang panenan penduduk Pondok Wonolelo. Kue apem tadi dipotong menjadi empat sama besar, disesuaikan dengan jumlah bendungan air yang mengairi tanah persawahan Pondok Wonolelo. Setiap potong apem tadi ditaruh pada masing-masing bendungan air agar tuah apem tadi dapat terbawa oleh aliran air dan menyebar secara merata ke sawah-sawah yang terkena aliran air. Ternyata berkat tuah apem itu hilanglah hama tikus.

Demikianlah asal penggunaan apem di upacara adat tersebut. Dalam hal ini memang ada hubungan antara Saparan di Pondok Wonolelo dengan Saparan di Jatinom-Klaten (Yokowiyu), yaitu sama-sama menyertakan apem sebagai bagian penting di dalamnya. Hal tersebut juga dilatarbelakangi oleh adanya hubungan antara Ki Ageng Wonolelo dengan Ki Ageng Gribig (di Jatinom, Klaten), dan ada anggapan bahwa kedudukan Ki Ageng Wonolelo lebih tua daripada Ki Ageng Gribig, sehingga pelaksanaan upacaranya pun di Wonolelo lebih dahulu satu minggu, baru kemudian di Jatinom.

Upacara Saparan Wonolelo seluruhnya diselenggarakan oleh keturunan Ki Ageng Wonolelo di Pedukuhan Pondok Wonolelo, akan tetapi pusat penyelenggaraan upacara dilakukan di dua tempat, yaitu di rumah kepala desa Widadamartani (yang kebetulan juga keturunan Ki Ageng Wonolelo) di Pondok Wonolelo, dan tempat yang kedua yaitu di kompleks makam Ki Ageng Wonolelo.

Di lokasi pertama, yaitu di tempat tinggal Kepala Desa Widadamartani sebagai tempat penyimpanan salah satu pusaka Ki Ageng Wonolelo, yaitu Kyai Gondhil yang dikenakan Ki Ageng Wonolelo pada waktu babad alas Wonolelo, dipersiapkan barisan yang akan mengarak pusaka Ki Ageng Wonolelo menuju ke makam. Kemudian dipersiapkan pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo, yaitu Kyai Gondhil, Kopyah, AI-Qur'an, dan Cupu (potongan mustaka masjid). Masing-masing pusaka ini dimasukkan ke dalam joli-joli yang telah disiapkan pula sebelumnya. Joli-joli yang berisi pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo ini masing-masing dipikul oleh empat orang laki-laki yang kesemuanya mengenakan pakaian peranakan, seperti abdi dalem Kraton Yogyakarta.

Sekitar pukul  17.00 WIB, diberangkatkan arak-arakan pembawa pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo dari rumah Kepala Desa Widadamartani menuju ke makam. Jarak tempuh kedua lokasi itu adalah kurang lebih 1,5 KM. Susunan barisan pembawa pusaka itu adalah sebagai berikut:
- Paling depan adalah kelompok putri,
- Barisan putri domas dengan mengenakan kebaya seragam berwama biru dan yang membawa bunga-bungaan,
- Barisan prajurit lengkap dengan senjata tombaknya,
- Joli-joli di dalamnya ditaruh pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo, dengan urutan paling depan Kyai Gondhil, disusul Kopyah, Kitab Suci Al-Quran, dan Cupu,
- Barisan anak-cucu keturunan Ki Ageng Wonolelo, dan
- Barisan paling akhir adalah para peziarah.

Sesampainya di kompleks makam, iring-iringan berjalan pelan memasuki halaman makam dan terus menuju ke makam Ki Ageng Wonolelo. Yang masuk adalah barisan putri domas, sedangkan barisan prajurit tidak masuk tetapi hanya duduk bersimpuh di luar bangunan (cungkup) makam.

Setelah barisan prajurit pengiring mendekati makam disusul barisan pembawa joli-joli berisi pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo. Pusaka-pusaka ini selanjutnya disemayamkan di dekat makam. Pusaka yang pertama kali dimasukkan ke dekat makam adalah Kyai Gondhil, kemudian Kopyah, disusul Kitab Suci Al Qur'an, dan terakhir Cupu. Pihak yang berkewajiban menerima pusaka dari pimpinan rombongan pembawa pusaka adalah Juru Kunci makam Ki Ageng Wonolelo.

Upacara dimulai dengan pembacaan riwayat singkat Ki Ageng Wonolelo oleh salah seorang kerabat keturunan Ki Ageng Wonolelo. Setelah pembacaan itu selesai, dilakukan dengan upacara tabur bunga atau nyekar di makam Ki Ageng Wonolelo dan Nyi Ageng Wonolelo. Tabur bunga ini dilakukan oleh semua kerabat keturunan Ki Ageng Wonolelo yang kemudian disusul oleh para peziarah lainnya secara bergantian.

Puncak acara Saparan Pondok Wonolelo ini adalah pembagian kue apem kepada para peziarah atau kepada siapa saja yang minta apem tersebut. Pembagian apem ini dilakukan setelah pusaka-pusaka tadi dibawa kembali ke rumah Kepala Desa Widadamartani oleh barisan pengarak pusaka. Dengan dikembalikannya pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo ke tempat semula dan dengan berakhirnya pembagian apem, maka secara prinsip berakhir pula seluruh rangkaian Upacara Saparan Wonolelo. Selanjutnya diadakan wungon (tidak tidur) sampai saat subuh tiba, baik oleh trah Ki Ageng Wonolelo maupun para peziarah lainnya.